Wednesday, August 13, 2014

Cerpen - Bidadari Kecil Ayah


BIDADARI KECIL AYAH

Di sebuah desa hiduplah seorang bapak tua bernama Pak Ihsan. Dia adalah seorang sebatang kara, selain itu dia juga tidak bisa berbicara. Malam itu hujan deras mengguyur desa Sukamelayu, Pak Ihsan sama sekali tidak mempedulikannya ia tetap mendorong gerobak sampahnya ke tempat pembuangan. Ketika ia melewati sebuah pohon besar ia mendengar suara tangisan bayi, ia mencari ke segala arah ketika ia melihat di balik pohon ia menemukan seorang bayi kecil tengah menangis. Pak Ihsan bingung apa yang harus ia perbuat, ia tak menemukan satu orang pun di sekitarnya. Karena ia merasa kasihan dengan bayi kecil itu, Pak Ihsan membawanya pulang.
Pak Ihsan sangat bahagia, karena impiannya selama ini tercapai. Ia sangat mengiginkan seorang anak yang akan menemani seluruh sisa hidupnya. Selama di perjalanan pulang hingga sampai ke rumah Pak Ihsan, bayi perempuan itu tidak berhenti menangis. Pak Ihsan telah mengganti pakaian bayi itu dengan pakaian yang kering. “Tok..tok...tok”, suara pintu rumah Pak Ihsan diketuk. Pak Ihsan segera membukakan pintu sambil tetap mencoba menenangkan si bayi. Ternyata Bu Ana lah yang datang. Bu Ana adalah salah satu tetangga Pak Ihsan yang sedikit terganggu karena suara tangisan bayi itu.
“Pak, ini bayi siapa? Bapak dapat darimana? Lalu di mana orang tuanya?” tanya Bu Ana bertubi-tubi. Pak Ihsan hanya dapat menjawab dengan isyarat tangan. “Oh..., jadi bapak menemukan di bawah pohon mangga dekat pembuangan sampah? Aduh, tega sekali orang tuanya, membuang bayi semanis ini hujan-hujan gini.” Komentar Bu. Ana sambil mengambil bayi kecil itu dari tangan Pak Ihsan. “Lalu bapak mau memberi nama siapa?” Tanya Bu Ana. Pak Ihsan terlihat sedang berfikir, namun sedetik kemudian Pak Ihsan tersenyum seraya memamerkan deretan gigi putihnya, tanda ia telah menemukan nama yang cocok untuk bayi kecil ini. Pak Ihsan menggerakan kedua tanganya, tanda ia sedang berbicara. Bu Ana memandang Pak Ihsan dengan tatapan tak mengerti. Pak Ihsan yang paham dengan situasi ini segera berlari ke dalam kamarnya dan mengambil bolpoin serta kertas untuk menulis sebuah nama untuk putri kecilnya. “Bunga”, tulis Pak Ihsan. Sambil tetap menggendong bayi itu yang sudah tertidur, Bu Ana tersenyum melihat nama yang diberikan Pak Ihsan.
“Bunga, hemm...nama yang cantik, secantik bayi ini.” Komentar Bu Ana. Pak Ihsan tersenyum mendengar pujian Bu Ana. Lalu ia menulis lagi kata di kertasnya, “Terimakasih, sudah sering membantu saya,” tulis Pak Ihsan. Bu Ana tersenyum lalu berkata, “Sama-sama, kita kan tetangga jadi sudah sebaiknya begitu kan? Oh iya pak, besok kalau Bunga bangun, bapak kasih susu formula ya!” Pak Ihsan hanya mengangguk dan tersenyum.
Pukul 05.00 WIB. “Oeek...oeek..oeek,” Pak Ihsan terbangun karena mendengar sura berisik tangisan bayi di sebelahnya. Ia begitu kaget melihat bayi kecilnya sedang berada di pinggir tempat tidur. Mungkin jika semenit saja Pak Ihsan tidak menggendong bayi itu, bayi itu sudah jatuh ke lantai. Walaupun sudah berada digendongan Pak Ihsan, bayi itu tetap saja menangis. Pak Ihsan bingung, ia harus bagaimana? Ia teringat kata-kata Bu Ana kemarin. Lalu ia bergegas pergi ke warung dekat rumahnya, tentunya sambil menggendong bayi kecil, yang sudah diberi nama Bunga. Ketika di perjalanan, para tetangga melihat Pak Ihsan dengan tatapan mencurigai.
“Bayi siapa itu yang dibawa sama Pak Ihsan? Kan Pak Ihsan sudah nggak punya keluarga lagi. Jangan-jangan bayi curian?” Bisik ibu-ibu tetangga Pak Ihsan yang sedang berbelanja sayur. Pak Ihsan menggerakan jarinya seraya menunjuk susu kaleng yang ada di balik lemari kaca warung itu seolah berkata, “Saya ingin membeli susu itu. Berapa harganya?” Awalnya si penjaga warung tak mengerti, namun ia mengikuti arah tangan Pak Ihsan dan menemukan tangannya sedang menunjuk-nunjuk susu formula yang ada di depanya. “Oh...ini. Ini harganya Rp 23.000,00. Bapak mau yang ini?” tanya si penjual toko. Pak Ihsan hanya mengangguk dan tersenyum, lalu menyerahkan beberapa uang lima ribuan hasil penjualan sampahnya kemarin. Ketika di perjalanan pulang, Pak Ihsan bertemu Bu Nani, pemilik kontrakan yang sedang ia tempati.
“Eh kebetulan bertemu Pak Ihsan di sini. Saya mau nagih uang kontrakan, bapak itu sudah nunggak 3 bulan. Jadi, cepat bayar dong! Kalau nggak bisa bayar, saya bisa mengusir bapak saat ini juga.” Sapa Bu Nani ketika bertemu Pak Ihsan. Pak Ihsan mengambil tangan Bu Nani lalu menciumnya, ia berlutut agar Bu Nani tidak mengusirnya dari rumah itu. Bu Nani hanya memandang Pak Ihsan sebentar, lalu pandangannya beralih pada bayi kecil yang sedang dibawa Pak Ihsan. “Bayi siapa itu? Kalau bapak nggak bisa bayar pakai uang, pakai bayi itu juga  tak apa.” Kata Bu Nani seraya merebut bayi itu dari tangan Pak Ihsan.
“Aaaa...uuuu...aaa..” jerit Pak Ihsan, tak mau bayi kecilnya diambil Bu Nani.
“Aiish, bapak ini makan saja susah sok mau ngurus bayi segala, mau bapak kasih makan apa bayi ini kelak?” Tanya Bu Nani sambil menggendong bayi yang menangis itu. Pak Ihsan tetap mencoba merebut sang bayi, namun tiba-tiba bodyguard Bu Nani datang dan memukuli Pak Ihsan. Pak Ihsan menangis melihat punggung Bu Nani yang semakin menjauhi dirinya. Ia berlari ke rumah Bu Ana. “Tok...tok..tok,” suara pintu rumah Bu Ana diketuk sangat keras seperti tidak sabaran.
“Iya...iya sebentar.” Jawab Bu Ana. Ketika membuka pintu Bu Ana mendapati Pak Ihsan dengan muka penuh tonjokan sedang mengatur napasnya karena habis berlarian kencang. “Ada apa Pak? Kenapa lari-lari gitu?” tanya Bu Ana.
“Aaa...uuu,” jawab Pak Ihsan sambil memeragakan menggendong bayi, menjelaskan kalau bayinya diambil oleh Bu Nani. Bu Ana mengerti maksud Pak Ihsan. Tiba-tiba Pak Ihsan bersujud di bawah kaki Bu Ana untuk meminta tolong.
“Pak...Pak, bangun, sudah-sudah jangan begini. Saya akan membantu bapak.” Jawab Bu Ana sambil tersenyum. Setelah mendengar jawaban dari Bu Ana, Pak Ihsan segera menarik tangan Bu Ana menuju rumah Bu Nani. Di sana ia mendengar pembicaraan Bu Nani dengan seseorang lewat telepon. “Iya, saya punya barang bagus, masih gress, putih, lucu, perempuan. Sesuai dengan harapan Tuan.” Kata Bu Nani. Pak Ihsan dan Bu Ana kaget mendengar pembicaraan tersebut. Jadi, bayi itu akan dijual Bu Nani ke tempat perdagangan bayi. Pak Ihsan semakin menangis. Air matanya sudah memenuhi wajah lelahnya. Bu Ana melihat keadaan Pak Ihsan sangat teriris, baru saja ia mendapatkan kebahagiaan tapi sekarang kebahagiaan itu diambil oleh Bu Nani.
“Bu Nani, ini apa-apaan sih? Kenapa bayi tak berdosa ini akan ibu jual?” tanya Bu Ana kepada Bu Nani. Bu Nani gelagapan menjawab pertanyaan Bu Ana, ia tak menyangka pembicaraanya tadi didengar oleh orang lain.
“Apa urusan kalian? Sudah cepat kalian pergi dari sini. Lagian bayi ini sudah menjadi milik saya.” Jawab Bu Nani. Pak Ihsan kembali bersujud di hadapan Bu Nani, seolah berkata “Kembalikan bayi saya, itu adalah harta saya yang paling berharga”.
“Tok...tok...tok,” pintu kembali diketuk, namun kali ini juga ada suara mobil polisi dari luar rumah Bu Nani.
“Cepat keluar dari rumah ini atau pintu ini akan kami dobrak.” Teriak salah seorang polisi. Ternyata para polisi itu datang karena mengetahui kabar penjualan bayi oleh Bu Nani. Bu Nani berniat untuk melarikan diri, namun terlambat polisi sudah lebih dulu menembak kaki kirinya. Karena merasa kesakitan, reflek Bu Nani melepaskan gendonganya pada bayi itu. Tapi untungnya Pak Ihsan segera menangkap bayi itu, dan menenangkannya. Pak Ihsan memeluknya kuat-kuat, berharap tangisan bayi itu berhenti. Namun nihil, bayi itu tetap saja tak berhenti menangis, mungkin bayi itu masih trauma atas kejadian tadi.
“Pak, bagaimana keadaan bayinya?” tanya Bu Ana. Pak Ihsan menjawab dengan anggukan kepala.
* * *
10 tahun kemudian, Pak Ihsan dan Bunga (bayi yang ditemukan dulu) hidup dengan bahagia, meskipun mereka hidup sendirian dan serba kekurangan. Pak Ihsan selalu mencoba untuk memenuhi semua keinginan Bunga. Hari ini Bunga berencana akan mengikuti ayahnya bekerja, seperti biasanya.
“Ayah, hari ini Bunga dapat nilai 100, ulangan metematika. Nanti Bunga belikan ice cream ya...” kata Bunga dengan wajah imutnya. Pak Ihsan tersenyum menanggapi putrinya yang kini sudah pandai dalam urusan merayu ayahnya. Bunga tahu kalau ayahnya itu memiliki keterbatasan dalam berbicara, jadi walaupun Pak Ihsan hanya tersenyum, Bunga tahu kalau ayahnya itu menyetujui permintaanya itu. Seperti biasa, ketika Bunga ikut ayahnya bekerja, ia akan duduk di dalam gerobak sampah ayahnya. Walaupun seluruh badannya berbau sampah, tapi Bunga senang karena membantu ayah tercintanya.
“Ayah, tahu tidak. Kemarin Bunga dapat boneka barbie dari sini, barbienya cantik dan bisa bernyanyi. Walaupun bonekanya sudah agak rusak, tapi masih bisa diperbaiki. Kelak Bunga ingin seperti boneka barbie itu, cantik dan bisa bernyanyi. Kan kalau jadi penyanyi uangnya banyak? Jadi, bisa untuk ayah juga. Heheee...” kata Bunga tersenyum lebar sambil memandang ayahnya yang sedang sibuk mendorong gerobak. Namun di dalam hatinya, Pak Ihsan berkata, “Bagaimana mungkin kali ini aku bisa mewujudkan impian Bunga? Jadi penyanyi itukan tidaklah murah.” Setelah selesai bekerja, Pak Ihsan menepati janjinya untuk membelikan ice cream untuk Bunga. Sedang asyik-asyiknya memakan ice cream, Bunga melihat seorang anak yang sedang bersenda gurau dengan ayahnya di seberang jalan. Hati bunga bergetar melihatnya, sebenarnya ia sangat iri kepada anak-anak lain, mereka bisa mendengar bahkan berbicara dengan ayahnya.
“Enak sekali, mereka bisa bercanda dengan ayahnya. Kapan aku bisa mendengar suara ayah?” kata Bunga dalam hati. Pak Ihsan yang melihat adanya perubahan di raut muka Bunga, mengikuti arah pandangan mata sang anak, matanya melihat seorang anak perempuan seusia Bunga sedang bercanda dengan ayahnya. Pak Ihsan menghela napas berat, terbesit kesedihan yang sangat mendalam di hati Pak Ihsan. Di dalam hati, Pak Ihsan berkata, “Mengapa Bunga dipertemukan dengan ayah yang cacat sepertiku? Ia gadis yang cantik dan manis. Aku begitu kasihan melihatnya yang sangat ingin bersenda gurau dengan ayahnya yang cacat ini.”
 Dalam diam, pasangan ayah dan anak ini menangis bersama. Tiba-tiba Bunga berdiri dan menggandeng ayahnya, menyembunyikan kesedihan yang ia rasakan saat ini.
“Ayah, ayo kita pulang, sudah hampir sore! Sesampainya di rumah, Bunga akan membuatkan teh manis untuk ayah.” Kata Bunga. Pak Ihsan tahu Bunga menahan tangisnya, karena ia melihat bekas lelehan air mata di pipi tembem putrinya itu. Sesampainya di rumah, Bunga langsung menuju ke dapur guna membuatkan teh spesial untuk ayah tercintanya. Namun ketika ia mencari kaleng tempat gulanya tersimpan, yang ia temukan adalah kaleng tersebut kosong. Bunga tetap membuatkan teh untuk ayahnya, walaupun tanpa gula. Dengan wajah yang ditekuk Bunga menghampiri ayahnya yang sedang memilah-milah sampah di depan rumahnya.
“Ayah, maaf Bunga membuat teh ini tanpa gula, karena gulanya habis.” Kata Bunga dengan wajah menyesal, seolah tak bisa membahagiakan ayahnya.
“Huuft...” Pak Ihsan menghela napas pasrah, lalu ia berlari masuk ke dalam kamarnya dan kembali membawa bolpoin dan kertas. “Tak apa-apa. Kamu nggak usah minta maaf, karena ayah yang salah. Ayah tak bisa memberikan semua yang kamu butuhkan. Tetapi dengan kamu menemani ayah minum teh, rasanya pasti akan manis, malah lebih manis daripada gula.” Bunga menangis, tetapi juga tertawa membaca tulisan tangan ayahnya.
“Hahhaahah..., ayah ini bisa saja.” Jawab Bunga sambil tertawa. Keduanya tertawa bersama-bersama. Ya walaupun ia tahu ia tak bisa mendengar suara ayahnya seperti teman-temannya yang lain, paling tidak ia masih bisa bercanda dengan tulisan-tulisan tangan ayahnya yang selalu bisa membuatnya tertawa dan bersyukur telah memiliki ayah yang sangat menyayanginya.
5 tahun berlalu, kini Bunga sudah berumur 15 tahun. Meskipun ayahnya hanya seorang pemulung, tapi hebatnya Bunga sampai sakarang masih bisa melanjutkan sekolahnya bahkan di SMA favorit di kotanya.
“Bunga kamu tahu audisi Idol yang akan diadakan di sekolah kita?” tanya Wina, salah satu teman sekelas Bunga.
“Memangnya berita itu benar?” Jawab Bunga yang masih belum sepenuhnya percaya pada berita itu. Kemudian Wina berkata kembali, “Coba deh kamu lihat ke sana! Kamu kan pintar nyanyi tuh, ikut saja!”.
“Ya nanti coba aku pikirkan deh.” Jawab Bunga.
Sedari tadi, Bunga masih terus memikirkan tentang audisi Idol itu. Ia terlalu bimbang apakah ia akan mengikuti atau tidak. Ia begitu pesimis takut tidak akan terterima. ”Kriing...Krinng” suara lonceng berbunyi tanda pelajaran berakhir. “Yeeeeyy...” teriak para siswa mendengar bel tersebut.
Sesampainya di rumah, Bunga ingin segera menanyakan pendapat ayahnya tentang audisi itu. Itu adalah jalan untuk Bunga mengubah kehidupannya dan ayahnya.
“Ayaahh, ayah di mana?” teriak Bunga begitu sampai di depan rumahnya. “Hemm..., sepertinya ayah belum pulang. Lebih baik aku buatkan teh saja dulu.” Kata Bunga.
Ketika sedang membuat teh untuk ayahnya, Bunga mendengar ada seorang membuka pintu rumahnya. Ia tersenyum, pasti itu ayahnya. Bunga berjalan menuju ruang tamu di mana ayahnya berada, sambil membawa 2 cangkir teh favorit ayahnya.
“Ayah sudah pulang, ini Bunga buatkan teh spesial untuk ayahku tercinta. Hehe...” kata Bunga disertai senyum yang manis hanya untuk ayahnya. Pak Ihsan hanya tersenyum menanggapi senyum manis putrinya yang mulai beranjak dewasa ini. “Ayah, Bunga ingin bicara dengan ayah.” Kata Bunga serius. Pak Ihsan beralih memandang putrinya yang kini memandang ayahnya serius. “Di sekolah Bunga  ada audisi menyanyi.” Kata Bunga. Pak Ihsan tersenyum mendengar berita dari Bunga. Berarti impian Bunga akan tercapai. “Tapi, kalau Bunga terpilih, Bunga harus tinggal di Jakarta.” Lanjut Bunga dengan tatapan was-was, takut ayahnya tidak akan memberi  izin. Seketika wajah Pak Ihsan berubah, ia menghentikan aktivitas meminum tehnya, dan berganti memandang ke arah Bunga. Ia melihat Bunga menunduk takut memandang wajah ayahnya. Pak Ihsan bingung, ia tak mau kehilangan putrinya itu, namun ia juga tak mau egois, putrinya sangat menginginkan untuk menjadi penyanyi. Pak Ihsan tersenyum, lalu mengangkat dagu putrinya agar menatapnya, lalu Pak Ihsan mengangguk tanda kalau ia mengizinkan. Keduanya tersenyum, namun tak bisa dipungkiri pasangan ayah dan anak itu begitu merasakan kesedihan. Bunga lalu memeluk ayahnya dengan erat seakan tak mau melepaskanya kembali. Menyembunyikan tangisanya di balik dada hangat ayahnya.
Hari audisi pun tiba. Pak Ihsan sedang bekerja seperti biasa, namun ia teringat bahwa hari ini adalah hari terpenting bagi putrinya, yaitu hari audisi menyanyi. Pak Ihsan segera berlari, ia mencoba mencari angkot yang biasa digunakan Bunga untuk berangkat ke sekolah. Ia melihat sekarang sudah jam 09.45 WIB., kurang 15 menit lagi audisi akan dimulai. Pak Ihsan memutuskan untuk berlari, ke sekolah Bunga.  
“Lagu ini saya persembahakan untuk orang yang sangat berjasa untuk saya, yaitu Yang Terbaik Bagimu.” Semua orang bertepuk tangan serta berdecak kagum melihat penampilan Bunga, tak terkecuali Pak Ihsan yang sedang berdiri di depan pintu aula, ia menangis sama seperti Bunga yang sedang menangis sesenggukan di atas panggung.
“Juara pertama dimenangkan oleh BUNGA....” kata salah seorang juri yang mengumumkan hasil juaranya. Bunga sangat bahagia, ia segera naik ke atas panggung lalu memeluk ayahnya dengan sangat erat. Keduanya kembali menangis dalam kebahagiaan. Kalau Bunga menjadi juara, artinya Bunga akan segera meninggalkan ayahnya sendirian.
* * *
Sudah 7 tahun Bunga pergi meninggalkan ayahnya. 1 tahun pertama, Bunga masih sering memberikan kabar kepada ayahnya itu. Namun di tahun-tahun berikutnya, Bunga menghilang bak di telan bumi. Sudah sering Pak Ihsan melihat wajah Bunga mondar-mandir di televisi, tapi ia tak berani untuk menemui putrinya lagi. Ia takut putrinya sekarang telah berubah. Mungkin Bunga memang tidak ditakdirkan untuk menemani sisa hidup Pak Ihsan, tapi Bunga telah menemani beberapa tahun terindah dalam hidup Pak Ihsan.
“Kak, aku sudah 7 tahun nggak bertemu ayah. Izinin aku untuk pulang kampung ya! Aku bosan kalau harus gini terus.” Protes seorang wanita cantik di depan managernya.
“Hei, kamu berkata apa? Dari kamu pertama jadi artis, sampai sekarang kamu itu sudah tidak punya ayah. Lagian, ayah kamu itu cacat, malu-maluin saja.” Jawab sang manager mengejek ayah wanita itu. Ternyata wanita itu adalah Bunga. Seorang anak yang meninggalkan ayahnya sendiri tanpa kabar apa-apa.
“Jahat kamu Kak, ayahku itu masih hidup. Walaupun ayahku tidak bisa bicara, tapi ia adalah kebanggaanku, ayahku adalah pahlawanku. AKU BERHENTI JADI PENYANYI.” Teriak keras Bunga, tak terima ayahnya dihina.
Bunga pulang ke rumahnya yang dulu, tapi ia tak menemukan siapa-siapa di rumahnya.
“Ayah, ayah, Bunga pulang!” Teriak Bunga di depan rumahnya. Namun, tetap saja tak ada yang menanggapi.
“Neng, Anda mencari Pak Ihsan?” Tanya seorang wanita di belakang Bunga.
“Ah iya, Bu. Apa ayah saya belum pulang bekerja?” tanya Bunga.
“Oh, jadi ini anak Pak Ihsan. Kenalkan saya Ati, saya baru tinggal 3 tahun ini. Pak Ihsan banyak cerita tentang Neng.” Bunga tersenyum menanggapi tetangga ayahnya ini berbicara. “Tapi Neng, Pak Ihsan sudah meninggal 1 bulan yang lalu.” Lanjut tetangga ayahnya itu. Jdeerr, bagai tersambar petir, air mata bunga mengalir dengan tiba-tiba. Ia terjatuh, ia menyesal mengapa dulu ia meninggalkan ayahnya sendiri. Tak menemani sisa hidup ayahnya.
“Ayah maafkan Bunga, Bunga anak yang jahat. Bunga sayang sama ayah. Bunga ingin ikut ayah. Ayah, cepat bawa Bunga pergi sama ayah.” Tangis Bunga pecah ketika melihat gundukan tanah di bawah nisan bertuliskan nama ayahnya.

Karya : Kamila Rizqi R.
Editor : Indah Nur H.

No comments:

Post a Comment